sejarah dan memori

Ada sejarah yang tertulis mengenai tragedi 1965. Tetapi ada memori yang melekat, baik secara individu maupun kolektif. Dengan “sejarah” kita maksudkan sebagai pandangan dan cerita tentang masa lalu, dari sejarah resmi, sejarah lokal sampai sejarah lisan masyarakat. Dengan memori kita melihat pentingnya ingatan individu dan kolektif, klaim, upacara, dan praktek yang memberi tanda pada perilaku personal dan sosial tentang masa lalu. Yang gencar diproduksi adalah sejarah resmi, sementara memori korban yang ditekan, dibius. Pembiusan korban selama ini antara lain karena ingatan, memori, yang sering diduga sebagai gejala individual, ternyata merupakan gejala politik. Hubungan antara ingatan dan politik terlebih-lebih karena citra mengenai masa lalu penting untuk mengabsahkan tata sosial masa kini, bahkan untuk membenarkan berbagai kebijakan masa kini. Otoritas negara melakukan penguasaan dan kontrol atas hal ingatan adalah menjadi salah satu kekuatan politik. Itu sebabnya sebuah pemerintahan otoriter berkepentingan untuk mengambil ingatan masyarakat dalam proses pelupaan/pengingatan terorganisir, biasanya melalui sejarah yang dibuat oleh rejim untuk menekan ingatan kolektif masyarakat. Hal yang paling mengerikan dari sebuah rejim bukan hanya penyangkalan demi penyangkalan terhadap martabat, tetapi juga kenyataan bahwa mereka seringkali berhasil meniadakan hampir semua kesaksian atas nama masa lalu. Siapapun yang berhasil mengontrol masa lalu akan mengontrol masadepan. Maka, ketika hubungan antara memori dan politik tidak diphami secara jernih, masa lalu dapat dengan sengaja direkonstruksi dan dimanipulasi sehingga memberi pengabsahan mitologis untuk masa kini. Pengakuan akan ingatan yang selam ini dibisukan y\namun yang tidak dimitoskan haruslah menjadi titik berangkat. Penolakan akan ingatan merupakan salah satu bentuk pengingkaran terhadap keberadaan manusia. Sementara itu, untuk masyarakat dan untuk negara seperti juga untuk individu, pemahaman, pengakuan dan penyelesaian atas masa lalu yang traumatik amatlah penting dalam perjuangan bersama menuju ke masyarakat terbuka, demokratis, dan menghormati martabat manusia. Mencegah otoritarianisme hanya mungkin jika kita memahami bagaimana mekanisme otoritarianisme bekerja, termasuk pemerintah berhasil dalam menuntut kepatuhan dan melibatkan masyarkat untuk membentuk sistem represif yang saling kontrol, bahkan dalam melaksanakan kekerasan. Pelanggaran atau kejahatan hak asasi manusia yang berlangsung terbuka du indonesia. Dan terjadi berulang-ulang tanpa ada tindakan yang signifikan. Namun keberhasilan penguasa dalam hal ini menciptakan stigma-stigma disekitar korban menyebabkan sebagian besar masyarakat kita percaya bahwa pemerintah atau aparatnya mempunyai alasan yang cukup kuat untuk membenarkan berbbagai tindak kekerasan diluar proses hukum. Dan dalam situasi tertentu yang didefinisikan sebagai “keadaan darurat”. Kalau diperlukan, negara memakai massa atau organisasi masyarkat sipil untuk melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok yang harus dihancurkan dan dibasmi. ‘Kemarahan massa” seringkali digunakan untuk membenarkan banyak tindakan kekerasan rakyat yang sebetulnya melibatkan negara atau setidaknya mendapatkan dukungan negara di belakangnya. Sebagian besar masyarkat Indonesia hidup dengan menghirup nafas “orde kekerasan” ketika pada saat yang sama para korban dan keluarganya justru mengalami penghinaan atas kemanusiaan mereka. Memori dan Trauma Masalah trauma sangatlah penting untuk dipertimbangkan dalam mediasi dan rekonsiliasi. Sebelum kita berbicara lebih jauh lagi. Kejadian traumatik, dengan definisi dimana neurolog dan psikolog berpendapat adalah suatu kejadian yang tidak mungkin dapat ditempatkan alam struktur kognisi manusia. Dengan demaikian kejadian tersebut tidak mungkin mampu mengumpulkan kembali proses memori yang normal. Konsep trauma telah digunakan untuk menunjukkan kejadian-kejadian yang memiliki efek-efek yang belum muncul. Trauma dalam psikologi merupakan masalah yang mengekang diri kita dengan cara yang tidak bisa diungkap secara psikologis. Sehingga persoalan muncul, bagaimana menghadirkan kejadian yang secara definisi tidak dapat dihadirkan, atau hadir secara sepenggal-sepenggal, tetapi disisi lain kejadian tersebut tidak serta merta bisa dilepaskan dari ingatan masalalu kita?. Banyak orang berpendapat bahwa kegagalan mengungkapkan ingatan ini sebagai sesuatu hal yang baik, karena bisa menjaga kita dari mengabaikan kejadian traumatik dengan cara mengalihkannya ke masalah-masalah lain. Jika trauma tidak bisa direpresentasikan, toh kita bisa membicarakan hal-hal yang lain. Dengan kata lain, lupakan saja kejadian pahit itu. Dengan definisi tersebut kejadian masa lalu tidak bisa diintegrasikan. Dan kelak pekerjaan kita selalu mengintegrasikan masalah-masalah yang berkaitan saja. (SI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar